Berapa layar ?

4 November 2015

Kau ialah pagi pada malam bulan kesepuluh, yang kupikir telah tandas pada dingin cangkir tehku yang berusia. Padamu, kusaksikan hijau di lahan gersang –menjelma tawa dan nyanyian ayat-ayatNya. Seandainya bisa, kulipat dan kusimpan tatap mata di kali pertama tatapan penuh makna sepanjang ingin Tuhan; namun, kapalmu kerap berlayar sebelum matahari kupeluk dalam pangkuan, membuatku mencarimu dalam jarum jam atau isi kepala. Maka kubiarkan segala yang kau tuju memilikimu. Dan aku hanya menikmati layarmu terkembang semakin menjauh.

Berlayarlah kanda, sejauh yang kau mampu.
Berlayarlah kanda, meski ombak merayumu tuk bersatu. Berlayarlah kanda, hingga di akhir labuhmu hanya berotasi pada takdirmu. Kelak, jika jam dindingmu tak lagi melahirkan makna, kan kukirimkan sepotong senja dengan aroma pantai yang kau rindukan dengan harapan yang mampu kau leburkan bersama samudra. Barangkali di sana kanda, kecemasan kan merenggang nyawa di hitungan kedua. Kayuh kembali perahumu, dalam bias rasa takut paling laut, dalam dekapNya, kau berada melalui doa-doa yang melupa. Rasa lelah menjagamu di tiap langkah, tak usah kau lempar dadu, menghitung kemungkinan; aku dalam bising yang tak kau namakan. Percayalah kanda, Tuhan begitu mencintaimu melalui aku
–perempuan dalam ingatanmu.

Nov “4