Kau yang sedang memeluk lutut
Kamis menuju jumat, pada jarak yang tak ingin ku ukur, dan biarlah rindu-rindu menyerpih, menjadi getah pait sebelum semu. Persimpangan persimpangan kian ruwet, aku kau kita terlalu banyak pilihan, semua pilihan sulit. Kembali menghamba pada egoisme diri. Dan pada pucak kebimbangan, kau memilih tidak melangkah.
Apa yang engkau dapat, engkau tuju, kini kian membayang. semua kembali ruwet. Ulah siapa? Kau Tuan, siapa lagi.
Dan pada kota yang serasa tak menerimamu, kau limbung sendiri, mengais-ngais peta, kompas yang entah sejak kapan kau lupakan tak kau pelihara seperti janji-janji basimu menuju orgasme. Taik!
Kau sehat? Aku aku tak nampak, aku sakit entah sejak kapan. Kau tak mampu tidur kan? Iya, kepalaku tak mau berhenti berpikir tentang persimpangan-persimpangan. Yang tampak dari luar. Kulihat kau hanya mampu memeluk lututmu, mencoba mengerdilkan diri dalam selimutmu. Selimut hapakmu. Aku tak layak bertanya ini, Apa kau bahagia?
Ya, aku sedang menggali kuburanku sendiri. Ya tadi tak untuk menjawab pertanyaanmu. Kita tak sedang beradu tanya-jawab. Dan engkau yg sedang memeluk lutut, melungker macam kucing keno hujan. Taik! Ya, aku sedang menggali kuburanku sendiri. Ya tadi tak untuk menjawab pertanyaanmu. Kita tak sedang beradu tanya-jawab. Dan engkau yg sedang memeluk lutut, melungker macam kucing keno hujan. Taik!
Aku yang sedang bukan aku
Lelakimu