Pada Kopi
Kopiku masih penuh belum kunikmati sama sekali, sedang kopimu tinggal setengah, sayang. Sama seperti waktu kita yang tak lama lagi, mungki dihitungan ke empat kita akan menghilang dimakan waktu.
Tapi senyummu masih penuh seperti matahari musim semi. Matamu yang coklat, tempat semua bahagia menari-nari dalam satu wujud; aku. Kita berbagi percakapan diiringi lagu-lagu cinta yang maknanya habis dilucuti zaman.
Ada bahagia yang bertebaran di lantai hingga langit-langit kafe ini. Dinginnya suhu tak lagi terasa karena kau memberikan hangat pada cinta yang banyak. Membuatku tak butuh selimut untuk menghalau cuaca dingin setelah hujan. Kau sibuk dengan bahagiamu; aku. Meja diantara kita mendadak sedemikian luasnya, disaat jemarimu menari lincah di layar kotak itu, mengabaikan aku yang sedang bahagia menjepret satu persatu kenangan. Karena padamu, jarak sedikit apapun membuatkku gelisah. Aku tak ingin perpisahan walau sebatas hasta. Aku ingin kau melekat tanpa perlu digapai.
Ya sayang, aku senorak itu. Kepada kau senyata cinta yang di seberang meja. Aku mencintaimu, selalu mencintamu dan akan terus mencintaimu walau sisa kopi tak lagi nikmat.
Tawamu memecah debar, seiring rasa syukur yang mengalis tak habis-habis. Dan suatu hari nanti cinta memuai tak semudah ini, maukah kau berjanji untuk berjuang menemukan hangatnya lagi?
Untuk kau, yang terlalu sakral untukku sebut namanya.
Alasyu~
Des “5